Presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Tentu segala harapan, impian, dan cita-cita seluruh masyarakat Indonesia selama lima tahun ke depan disandarkan pada pundak pemimpin tertinggi negara ini.
Untuk menjalankan roda pemerintahan baru nanti, Prabowo bersama Gibran mengusung Asta Cita yang salah satunya misinya memperkuat pembangunan sumber daya manusia, sains, teknologi, pendidikan kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan jender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
Dalam pembangunan SDM, pendidikan menjadi pilar utama yang strategis. Tanpa pendidikan yang bermutu, maka pembangunan SDM berkualitas menjadi terhambat.
Pendidikan bermutu membutuhkan kesiapan adanya guru yang berkualitas dan sejahtera. Tanpa guru yang berkualitas dan sejahtera, maka pendidikan yang menghasilkan SDM bermutu tinggi tinggallah impian.
Baca juga: Investasi pada Guru untuk Pendidikan Berkualitas
Selama ini peran guru dalam kebijakan pendidikan sering termarjinalkan. Guru lebih sering dijadikan obyek dibandingkan subyek dalam sistem pendidikan.
Setiap menteri pendidikan baru, perubahan kurikulum lebih sering menjadi fokus kebijakan dibandingkan pembenahan tata kelola guru yang meliputi sistem penggajian, pengembangan karier, kompetensi, dan perlindungan hukum. Padahal, tanpa perhatian pada peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru, perubahan kurikulum tidak begitu signifikan dalam memperbaiki kualitas pendidikan.
Menjelang terbentuknya pemerintahan baru, muncul secercah harapan para guru tentang arah kebijakan baru pendidikan yang tidak linear, progresif, dan lebih signifikan dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Perubahan kebijakan pendidikan sebaiknya dimulai dari perbaikan tata kelola guru yang meliputi kesejahteraan, kompetensi, dan perlindungan hukum bagi profesi guru. Berikut masukan guru untuk pemerintahan baru tentang tata kelola guru.
Perbaiki kesejahteraan guru
Lagi-lagi soal kesejahteraan guru menjadi isu penting untuk diperhatikan pemerintahan baru nanti. Bagaimana mungkin guru dapat fokus mengajar di kelas apabila pemenuhan kebutuhan minimumnya terabaikan?
Beberapa dekade terakhir ini ada peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi guru (TPG). Namun, menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, lebih dari 1 juta guru belum memiliki sertifikat pendidik dan belum diberikan tunjangan profesi (Kompas.id, 14/7/2024). Padahal, amanat Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, semua guru saat itu harus sudah disertifikasi paling lambat sepuluh tahun sejak beleid tersebut ditetapkan.
Para guru sangat berharap mendapatkan peningkatan kesejahteraan karena dalam beleid tersebut, pemerintah berkewajiban memberikan TPG sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memenuhi syarat, yakni memiliki sertifikat pendidik dan mengajar minimal 24 jam per minggu.
Di sejumlah daerah (terutama pelosok) dengan keterbatasan jumlah siswa dan rombongan belajar, syarat mengajar minimal 24 jam per minggu ini pun sering menimbulkan persoalan karena sulit dipenuhi oleh para guru bersertifikat.
Bagi guru swasta yang belum menerima penyesuaian (inpassing) setara gaji pokok PNS, pemberian tunjangan profesi dipatok flat sebesar Rp 1,5 juta yang bertahun-tahun pun tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hingga kini, inpassing bagi guru swasta pun ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.
Namun, sebagian besar sekolah yang dikelola masyarakat belum dapat memberikan kesejahteraan guru yang memadai sesuai dengan besaran UMR.
Persoalan kesejahteraan guru menjadi isu penting yang terus disuarakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan berbagai elemen pemangku kepentingan pendidikan. Salah satunya, belum ada ketegasan pemerintah soal aturan yang menjamin kesejahteraan yang memadai terutama bagi guru-guru di sekolah yang dikelola masyarakat (swasta).
Bagi guru-guru swasta yang mengajar di sekolah besar di bawah pengelolaan yayasan bonafide tentu memiliki penghasilan memadai dan umumnya sudah sesuai upah minimum regional. Namun, sebagian besar sekolah yang dikelola masyarakat belum dapat memberikan kesejahteraan guru yang memadai sesuai dengan besaran UMR. Akibatnya, profesi guru sampai saat ini terbilang masih termarjinalkan tingkat kesejahteraannya.
Guru yang memperoleh TPG pun harus bersabar menanti haknya cair setiap triwulan sekali melalui berbagai pemberkasan. Hal ini berbeda dengan ASN lain yang tunjangan kinerjanya cair setiap bulan sekali tanpa dibebani berkas administratif. Data menunjukkan, tingkat penghasilan guru ASN yang memperoleh TPG masih lebih rendah dibandingkan dengan aparatur sipil negara non-guru yang bekerja di instansi pemerintah pusat ataupun daerah yang mendapatkan tunjangan kinerja.
Belum lagi persoalan keterlambatan pencairan tunjangan profesi guru yang selalu berulang hampir setiap tahun. Akibatnya, guru-guru di sejumlah daerah pun sering kali dihadapkan pada persoalan klasik, yaitu terlambat dari jadwal menerima tunjangan sertifikasi, kecuali di akhir tahun anggaran.
Meningkatkan kompetensi guru
Guru berkualitas menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan. Karena itu, investasi besar-besaran harus dilakukan pemerintah bersama pemangku kepentingan pendidikan melalui pelatihan dan pengembangan profesional guru secara berkelanjutan. Program-program seperti pelatihan, lokakarya, bimbingan teknis (bimtek) berkelanjutan dan pengembangan keterampilan pedagogis modern harus diperluas dan menjangkau semua guru tanpa kecuali.
Peningkatan kompetensi guru menjadi hal strategis yang harus dilakukan. Data tahun 2015 menunjukkan hasil uji kompetensi guru yang diikuti oleh 2.921.896 guru dengan nilai rata-rata secara nasional sebesar 56,69, melampaui standar nilai minimal yang ditetapkan pemerintah tahun itu, yaitu 55. Data sembilan tahun lalu itu masih dapat dijadikan referensi bahwa kompetensi guru secara umum masih harus ditingkatkan.
Untuk mendapatkan guru yang berkualitas dengan kompetensi unggul secara profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian harus dimulai dari hulunya, yaitu perguruan tinggi. Pembenahan serius dapat dilakukan dimulai dari perguruan tinggi berlabel lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) negeri maupun swasta.
Baca juga: Guru, antara Tuntutan dan Kompetensi
Tanpa pembenahan serius dan menyeluruh di bagian hulu, maka tidak dapat menghasilkan output lulusan calon guru yang kompeten dan berjiwa pendidik yang militan. Guru harus menjadi profesi yang didambakan lulusan terbaik di sekolah menengah sehingga didapatkan input calon guru yang berpotensi unggul yang kelak dapat memberikan sumbangsih terbaik dari tenaga dan pikirannya.
Selain itu, kompetensi guru perlu terus di-update setiap waktu secara berkala sejak mereka mulai menunaikan tugas di satuan pendidikan hingga mencapai batas usia pensiun. Seseorang yang menjalani profesi guru harus menyadari pentingnya belajar sepanjang hayat melalui beragam kegiatan peningkatan kompetensi guru yang diselenggarakan komunitas dan organisasi profesi guru, seperti PGRI.
Upaya peningkatan kompetensi guru harus serius terus dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi profesi guru. Beragam seminar, bimtek, lokakarya harus terus diselenggarakan untuk memfasilitasi para guru untuk belajar meningkatkan kompetensinya. Harus diubah pola pikir para guru agar mau belajar sepanjang hayat dan berbagi pengalaman belajar dengan kolega.
Perlindungan hukum bagi guru
Berbagai kasus hukum kerap menimpa guru-guru di sejumlah daerah saat menjalankan tugas profesinya. Hal ini harus menjadi perhatian penting pemerintahan baru agar guru mendapatkan kepastian jaminan keamanan saat menjalankan tugas profesionalnya. Aksi perundungan yang dilakukan kepada guru oleh oknum aparat, oknum orangtua, dan oknum lembaga swadaya masyarakat harus diakhiri agar guru merasa aman dan nyaman saat bertugas yang dapat berdampak positif bagi peningkatan pelayanan pendidikan.
Selain peran pemerintah, organisasi profesi guru, seperti PGRI, menjadi wadah penting bagi para guru untuk memberikan rasa aman serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas profesinya. PGRI kerap menjadi sandaran utama para guru melalui advokasi berbagai kasus hukum. Pemerintah perlu menguatkan peran PGRI dalam mengadvokasi para guru untuk mendapatkan perlindungan hukum sehingga memiliki kenyamanan dan keamanan saat bertugas.
Kencangnya masukan para guru saat menyuarakan peningkatan kesejahteraan, kompetensi, dan perlindungan hukum guru selama ini kerap hanya teronggok di pojok ruang publik yang hampa dan sunyi dari perhatian. Berbagai opini para guru yang berisi pemikiran, gagasan, dan ide banyak bertebaran di meja-meja diskusi dan kolom-kolom media, menantikan implementasi konkret pemerintah. Semoga pemerintahan baru dengan semangat baru dalam menjalankan misi Asta Cita dapat mendengarkan masukan dari suara guru semata demi kemajuan dunia pendidikan nasional dan melesatkan Indonesia maju di 2045 kelak.
Catur Nurrochman Oktavian, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI; Kepala SMPN 3 Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
DOK. PRIBADI
Catur Nurrochman Oktavian